Laman

Jumat, 07 Januari 2011

TANGGUNG JAWAB AKUNTAN PUBLIK DALAM PENCEGAHAN & PENDETEKSIAN KECURANGAN PELAPORAN KEUANGAN

A. Pendahuluan
Kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) dapat didefinisikan suatu perilaku yang disengaja, baik dengan tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias). Fraudulent financial reporting merupakan problem yang dapat terjadi di perusahaan mana saja dan kapan saja. Fraudulent financial reporting yang terjadi pada suatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari akuntan publik (auditor independen).
Pengertian Fraudulent financial reporting menurut Arens (2005 : 310) adalah sebagai berikut :
Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting involve the intentional misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by omittingaccount payable and other liabilities.Although less frequent, several notable cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed obligations to affiliates known as specialm purpose entities.

B. Penyebab Fraudulent Financial Reporting


Menurut Ferdian & Na’im (2006), kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan yang disajikan berikut ini :
1.Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
2.Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan.
3.Salah penerapan secara senngaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.
Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik. Salah satu upaya untuk mencegah timbulnya kolusi tersebut, yaitu perlunya perputaran (rotasi) akuntan publik dalam melakukan general audit suatu perusahaan.

C. Tanggung Jawab Manajemen

Mengingat fraud merupakan problem yang sangat serius, maka manajemen perusahaan harus mengambil langkah-langkah komprehensif untuk memproteksi sistem informasinya. Metode yang paling efektif untuk memperoleh security system yang mencukupi adalah terletak pada integritas (integrity) karyawan perusahaan. Perusahaan dapat mengambil langkah untuk meningkatkan integritas karyawan dan mengurangi kemungkinan karyawan melakukan fraud dengan memperhatikan , Pertama, Hiring & firing practices. Dalam melakukan penerimaan dan pemecatan karyawan harus dilakukan dengan hati-hati dan selektif. Kedua, Managing disgruntled employees. Banyak karyawan yang melakukan fraud adalah dalam rangka mencari pembalasan atau justice terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah ditimpakan kepada mereka. Ketiga, Employee training. Fraud jauh lebih sedikit akan terjadi dalam lingkungan dimana para karyawan percaya bahwa keamanan (security) merupakan tanggung jawab bersama, baik karyawan maupun manajemen.
Salah satu cara untuk mencegah timbulnya fraud adalah dengan merancang sebuah sistem yang dilengkapi dengan internal control yang cukup memadai sehingga fraud sukar dilakukan oleh pihak luar maupun orang dalam perusahaan.The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu : Pertama, Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting). Kedua, Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent financial reporting. Ketiga, Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan. Keempat, Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.

D. Tanggung Jawab Akuntan Publik (Auditor Independen)

1. Statement Auditing Standards
Beberapa Statements on Auditing Standards (SAS) yang dikeluarkan oleh Auditing Standards Board (ASB) di Amerika Serikat yang cukup penting adalah :
a.SAS No. 53 tentang “The Auditor’s Responsibility to Detect and Report Errors and Irregularities,” yaitu mengatur tanggung jawab auditor untuk mendeteksi dan melaporkan adanya kesalahan (error) dan ketidakberesan (irregularities).
b.SAS No. 55 tentang “Consideration of Internal Control in a Financial Statement Audit,” yang merubah tanggung jawab auditor mengenai internal control. Statement yang baru ini meminta agar auditor untuk merancang pemahaman tentang pengendalian intern yang memadai (internal control sufficient) dalam merencanakan audit. SAS No. 55 kemudian diperbaharui dengan diterbitkan SAS No. 78 pada tahun 1997, dengan mencantumkan definisi ulang pengendalian intern (redefined internal control) dengan memasukkan dua komponen yaitu lingkungan pengendalian (control environment) dan penilaian risiko (risk assessment) yang merupakan usulan dari the Treadway Commission.
c.SAS No. 61 mengatur tentang komunikasi antara auditor dengan komite audit perusahaan (Communication with Audit Committees). Auditor harus mengkomunikasikan dengan komite audit atas beberapa temuan audit yang penting, misalnya kebijakan akuntansi (accounting policy) perusahaan yang signifikan, judgments, estimasi akuntansi (accounting estimates), dan ketidaksepakatan manajemen dengan auditor.
d.SAS No. 82 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit” dikeluarkan ASB pada Februari 1997. SAS no. 82 menyatakan bahwa auditor harus bertanggung jawab untuk mendeteksi dan melaporkan adanya kecurangan (fraud) yang terjadi dalam laporan keuangan yang disusun oleh manajemen. Selaij itu, SAS no. 82 juga menyatakan bahwa setiap melakukan audit auditor harus menilai risiko (assessment of risk) kemungkinan terdapat salah saji material (material misstatement) pada laporan keuangan yang disebabkan oleh fraud.
e. SAS No. 99 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit” merupakan revisi dari SAS No. 82 dan mulai diberlakukan efektif untuk audit laporan keuangan setelah tanggal 15 Desember 2002, penerapan lebih awal sangat dianjurkan. Auditor bertanggungjawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan (error) maupun kecurangan (fraud).
Pengaruh SAS No. 99 terhadap tanggung jawab auditor antara lain :
•Tidak ada perubahan atas tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud atas audit laporan keuangan.
•Tidak ada perubahan atas kewajiban auditor untuk mengkomunikasikan temuan atas fraud.
•Terdapat perubahan penting terhadap prosedur audit (audit procedure) serta dokumentasi yang harus dilakukan oleh auditor atas audit laporan keuangan.
Dua tipe salah saji (misstatements) yang relevan dengan tanggung jawab auditor, yaitu salah saji yang diakibatkan oleh fraudulent financial reporting dan salah saji yang diakibatkan oleh penyalahgunaan asset (misappropriation of assets).SAS No. 99 juga menegaskan agar auditor independen memiliki integritas (integrity) serta menggunakan kemahiran professional (professional skepticism) melalui penilaian secara kritis (critical assessment) terhadap bukti audit (audit evidence) yang dikumpulkan.
f.SAS No. 110 “Fraud & Error” dinyatakan bahwa auditor harus dapat mendeteksi terhadap kesalahan material (material mistatement) dalam laporan keuangan yang ditimbulkan oleh kecurangan atau kesalahan (fraud or error). SAS 110 , paragraf 14 & 18 berbunyi sbb. :
“Auditors plan, perform and evaluate their audit work in order to have a reasonable expectation of detecting material misstatements in the financial statements arising from error or fraud. However, an audit cannot be expected to detect all errors or instances of fraudulent or dishonest conduct. The likelihood of detecting errors is higher than that of detecting fraud, since fraud is usually accompanied by acts specifically designed to conceal its existence…”
2. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)
Profesi akuntan publik (auditor independen) memiliki tangggung jawab yang sangat besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (publik). Terdapat 3 (tiga) tanggung jawab akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu:
a.Tanggung jawab moral (moral responsibility).
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral untuk :
1)Memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai perusahaan yang diaudit kepada pihak yng berwenang atas informasi tersebut, walaupun tidak ada sanksi terhadap tindakannya.
2)Mengambil keputusan yang bijaksana dan obyektif (objective) dengan kemahiran profesional (due professional care).
b.Tanggung jawab profesional (professional responsibility).
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional terhadap asosiasi profesi yang mewadahinya (rule professional conduct).
c. Tanggung jawab hukum (legal responsibility).
Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab diluar batas standar profesinya yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum yang berlaku.Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Auditing Seksi 110, mengatur tentang “Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen”. Pada paragraf 2, standar tersebut antara lain dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak. Bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.

E. Pencegahan & Pendeteksian Fraud

Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua pihak yang mendasarkan keputusannya atas informasi dalam laporan keuangan (financial statement) tersebut. Oleh karena itu akuntan publik harus bisa menccegah dan mendeteksi lebih dini agar tidak terjadi fraud. Untuk mengetahui adanya fraud, biasanya ditunjukkan oleh timbulnya gejala-gejala (symptoms) berupa red flag (fraud indicators), misalnya perilaku tidak etis manajemen. Red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan (fraud) yang terjadi.
Hasil penelitian Wilopo (2006) membuktikan serta mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diturunkan dengan meningkatkan kefektifan pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, moralitas manajemen, serta menghilangkan asimetri informasi. Hasil penelitian Wilopo tersebut juga menunjukkan bahwa dalam upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi memerlukan usaha yang menyeluruh, tidak secara partial.
Menurut Wilopo, upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi, antara lain :
•Mengefektifkan pengendalian internal, termasuk penegakan hukum.
•Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian.
•Pelaksanaan good governance
•.Memperbaiki moral dari pengelola perusahaan, yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan, negara dan masyarakat.
The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu :
1.Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).
2.Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent financial reporting.
3.Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.
4.Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.
Mulfrod & Comiskey (2002) menulis buku terkait dengan creative accounting yang berjudul “The Financial Numbers Game : Detecting Creative Accounting Practices”. Buku tersebut meskipun lebih difokuskan bagi para investor sebagai pembelajaran untuk mengetahui secara cepat adanya kecurangan akuntansi (fraudulent accounting), namun perlu diketahui juga oleh auditor.
Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko terdapat fraudulent financial reporting di perusahaan, antara lain :
•Terdapat kelemahan dalam pengendalian intern (internal control).
•Perusahaan tidak memiliki komite audit.
•Terdapat hubungan kekeluargaan (family relationship) antara manajemen (Director) dengan karyawan perusahaan.

F. Kesimpulan

1) Fraudulent financial reporting dapat terjadi kapan saja dan di perusahaan mana saja. Menurut SAS No. 99 dan SPAP, akuntan publik (auditor independen) bertanggung jawab untuk mendeteksi adanya kecurangan (fraud) dalam general audit atas laporan keuangan perusahaan.
2) Fraud merupakan problem yang serius, maka auditor harus mengambil langkah-langkah komprehensif dalam pencegahan dan pendeteksian fraudulent financial reporting. Pemahaman atas fraudulent financial reporting di kalangan akuntan publik sangat penting, agar lebih dini bisa dilakukan pencegahan dan pendeteksian terhadap fraud. Oleh karena itu, IAI perlu menyelenggarakan suatu lokakarya (workshop) tentang fraudulent financial reporting.
3) Fraud juga dapat terjadi adanya kolusi antara akuntan publik dengan manajemen suatu perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan rotasi akuntan publik dalam melakukan audit di perusahaan serta pengawasan yang ketat dari pihak yang berwenang (regulator).
4) Diperlukan adanya auditor internal yang profesional,maka terdapat beberapa hal yang perlu dilaksanakan oleh para auditor internal, sbb :
1. Auditor internal melaksanakan standar profesional serta kode etik profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi secara konsisten.
2. Auditor internal harus senantiasa mengikuti perkembangan mutakhir lingkungan bisnis yang sangat cepat serta teknologi informasi yang pesat.
3. Auditor internal harus selalu mengikuti perkembangan terbaru tentang konsep & teknik dalam internal auditing melalui Pendidikan profesi berkelanjutan (PPL).
4.Auditor internal harus selalu meningkatkan kemampuan dibidang komunikasi (communication skills) baik lisan maupun tertulis.

REFERENSI:
Accounting Standard Board (ASB). SAS No. 99 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”. 2002.


DAMPAK DARI KASUS ANDERSEN-ENRON TERHADAP ASPEK BISNIS DAN AKUNTANSI SECARA UNIVERSAL

PENDAHULUAN

Maraknya kejahatan akuntansi korporat yang terjadi akhir-akhir ini membuat kepercayaan para pemakai laporan keuangan khususnya laporan keuangan auditan terhadap auditor mulai menurun. Akibat kejahatan tersebut, para pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mulai mempertanyakan kembali eksistensi akuntan publik sebagai pihak indepeden yang menilai kewajaran laporan keuangan. Beberapa kasus manipulasi yang merugikan pemakai laporan keuangan melibatkan akuntan publik yang seharusnya menjadi pihak independen.
Kondisi ini membuat masyarakat mempertanyakan kredibilitas profesi akuntan publik. Erosi kepercayaan terhadap profesi akuntansi semakin meningkat, padahal eksistensi profesi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Perdagangan opini auditor menjadi hal yang “wajar” ketika independensi dan objektivitas sudah terabaikan.

Kepercayaan masyarakat perlu dipulihkan dan hal itu sepenuhnya tergantung pada praktek profesional yang dijalankan para akuntan. Profesionalisme mensyaratkan tiga hal utama yang harus dimiliki oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian, pengetahuan, dan karakter. Karakter menunjukkan personality (kepribadian) seorang profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap etis dan tindakan etis (Mar’ie, [2002] dalam Chrismastuti dan Purnamasari,[2003]). Sikap dan tindakan etis akuntan publik akan sangat menentukan posisinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya (Machfoed, [1997]).

ARTHUR ANDERSEN

Arthur Andersen adalah sebuah perusahaan jasa akuntansi yang berbasis di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Perusahaan ini didirikan oleh Arthur Andersen pada tahun 1913. Arthur Andersen termasuk kedalam kelompok The Big Five, yang terbentuk sejak bulan juli 1998. Arthur Andersen juga menjadi auditor beberapa perusahaan raksasa seperti perusahaan energi terbesar dunia (Enron), Merck,WorldCom, KPNQwest, dan sejumlah rekanan besar lainnya. Arthur Andersen juga menjalankan bisnis assurance service.

PERMASALAHAN

Kasus manipulasi pembukuan yang tetrbesar adalah kasus Enron Corp. Laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh kantor akuntan Arthur Anderson dan secara mengejutkan dinyatakan pailit pada 2 Desember 2001. Beberapa indicator permasalahan tersebut, akan diuraikan sebagai berikut :

Special Purpose Vehicle (SPV/SPE) & Laporan Konsolidasi

Suatu perusahaan harus menentukan apakah mengerjakan suatu pekerjaan sendiri atau menyewa pihak lain (outsourcing). Asset yang digunakan dengan cara menyewa tidak perlu dimasukkan ke dalam neraca. Akibatnya, hal ini sering disebut off-balance-sheet financing atau pendanaan diluar neraca. Contoh transaksi yang paling umum digunakan adalah sewa guna usaha.

Perusahaan dapat mendirikan perusahaan kecil yang terpisah, yang bertugas melayani kebutuhan outsourcing ini. Perusahaan kecil ini yang disebut sebagai SPE. Untuk keperluan akuntansi, SPE dapat merupakan perusahaan yang terpisah dan independen, sehingga tidak perlu dikonsolidasi dengan perusahaan induknya.
Berkaitan dengan Enron, beberapa SPE yang dibentuknya tidak independen, karena dimiliki dan dikelola oleh CFO Enron. Selain itu, ada beberapa transaksi yang tidak mungkin dilakukan antara Enron dengan pihak independen, seperti menjual dan membeli aktiva saat melaporkan posisi keuangan.

Conflict of Interest

KAP Arthur Andersen telah mengaudit Enron sejak 1985 dan selalu memberikan opini wajar tanpa syarat sampai tahun 2000. Arthur Andersen juga memberikan jasa konsultasi mengenai pembentukan SPE-SPE tersebut diatas. Dengan berperan sebagai auditor merangkap konsultan management, Andersen menerima fee dobel, yaitu dari konsultasi menerima US$ 27 juta dan dari jasa audit mendapat US$ 25 juta.

Ethical Issue

KAP Arthur Andersen memiliki kebijakan pemusnahan dokumen yang tidak menjadi bagian dari kertas kerja audit formal. Selain itu, jika Arthur Andersen sedang memenuhi panggilan pengadilan berkaitan dengan perjanjian audit tertentu, tidak boleh ada dokumen yang dimusnahkan. Arthur Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur.

Selain kasus Enron, ada beberapa kasus pelanggaran terhadap standar akuntansi yang dilakukan oleh perusahaan rekanan Andersen, yang lolos audit dengan opini unqualified. Contohnya seperti Merck (menggelembungkan pendapatan—dan pengeluaran—mereka hingga sekitar US$14 milyar selama tiga tahun terakhir), WorldCom (keliru membukukan biaya perusahaan sebesar US$3,8 milyar dan laba yang diraup selama 5 catur wulan terakhir sejak awal 2001 sudah raib), KPNQwest (perusahaan pailit karena jumlah kerugian yang sebenarnya mancapai jumlah yang lebih besar sebesar 60% dari jumlah yang dilaporkan) dan runtuhnya Bank Summa yang dinyatakan bangkrut beberapa bulan setelah KAP Arthur Anderson menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangannya.

DAMPAKNYA

Terhadap Enron Corporation

Pada february 2001, nilai saham Enron terus melonjak menjadi US$ 90. Tetapi Pada tanggal 2 Desember 2001, Enron, sebuah perusahaan beromzet US$ 100 miliar, menyatakan dirinya bangkrut, setelah sebelumnya sempat dinobatkan Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, dan tidak mampu membayar utang-utangnya serta menanggung kerugiaan sebesar US$ 50 miliar. Dan pada hari itu juga harga saham Enron, ikut anjlok sampai dengan 26 sen.

Terhadap Arthur Andersen

Kebangkrutan Enron menyeret akuntan publik Arthur Andersen karena memanipulasi labanya. Padahal Arthur Andersen berdiri sejak tahun 1913 dengan mencetak laba pada tahun 2008 sebesar 8,4 miliar dolar AS. Akhirnya pada pada tahun 2001 Arthur Andersen harus membayar utang 32 miliar dolar AS sehingga perusahaan ini tidak bisa diselamatkan. Melalui putusan yang dipimpin oleh Hakim Melinda Harmon, Arthur Anderson mendapatkan hukuman percobaan 5 tahun, denda US$ 500.000 dan dicabut kewenangannya untuk mengaudit perusahaan publik di AS. Atas dasar US Securities and Exchange Commission Rules (SEC Rules), akibat dari perbuatannya yang telah menghilangkan dan menghancurkan dokumen-dokumen penting Enron. Pada tahun 2002, perusahaan ini secara sukarela menyerahkan izin praktiknya sebagai Kantor Akuntan Publik setelah dinyatakan bersalah dan terlibat dalam skandal Enron dan menyebabkan 85.000 orang kehilangan pekerjaannya, yang dilakukan dengan menonaktifkan 7.000 pegawainya, menjual praktiknya di Amerika Serikat, kehilangan ratusan kliennya dan merumahkan ribuan pegawai di seluruh dunia.

Terhadap Publik dan Lembaga2 Publik

Merosotnya kepercayaan publik terhadap kejujuran, transparansi, baik dari direksi perusahaan, Perusahaan Audit dan bahkan kredibilitas pasar modal sendiri. Banyak lembaga keuangan internasional juga ikut menderita kerugian akibat bangkrutnya Enron, sehingga membuat mereka semakin berhati-hati dalam membidik peluang investasi. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal diharuskan memenuhi persyaratan pembeberan (disclosure) yang luar biasa ketat.

Terhadap Profesi Akuntansi

Sarbanes Oxley Act

Akibat dari dari kasus Enron dan Arthur Andersen, pemerintah AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOX) untuk melindungi para investor dengan cara meningkatkan akurasi dan reabilitas pengungkapan yang dilakukan perusahaan publik. Sarbanes Oxley adalah nama lain dari undang-undang reformasi perlindungan investor (The Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002) yang ditandatangani George Bush bulan Juli tahun 2002 lalu. Selain itu, dibentuk pula PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) yang bertugas:

mendaftarkan KAP yang mengaudit perusahaan public menetapkan atau mengadopsi standar audit, pengendalian mutu, etika, independensi dan standar lain yang berkaitan dengan audit perusahaan public menyelidiki KAP dan karyawannya, melakukan disciplinary hearings, dan mengenakan sanksi jika perlu melaksanakan kewajiban lain yang diperlukan untuk meningkatkan standar professional di KAP meningkatkan ketaatan terhadap SOX, peraturan-peraturan PCAOB, standar professional, peraturan pasar modal yang berkaitan dengan audit perusahaan publik.

Terhadap Investor

Para pemegang saham (Investor) Enron melakukan gugatan class action terhadap para biggest players di Wall Street Enron dengan tuduhan melakukan penipuan (Fraud). Gugatan itu perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan public. Kolapsnya Enron juga mengguncang neraca keuangan para kreditornya yang telah mengucurkan milyaran dolar (JP Morgan Chase dan Citigroup adalah dua kreditor terbesarnya).

Terhadap Karyawan

Ribuan pegawai Enron tidak hanya mereka kehilangan pekerjaan, tetapi juga tabungan pensiunan mereka. Dalam hukum perpajakan Amerika, setiap pekerja bisa menabung sebanyak-bayaknya 12,000 dolar AS setahun dan tidak akan dikenai pajak. Baru ketika pekerja menginjak usia 60, ia berhak mengambil dana tersebut dan membayar pajak seperti layaknya penghasilan biasa. Selama berada dalam tabungan pensiunan, uang tersebut akan ditanamkan dalam bentuk saham dan obligasi dengan harapan si penabung akan meraup bunga sebanyak-banyaknya bila ia siap pensiun. Karena biasanya perusahan sendiri yang mengadministrasi tabungan pegawai-pegawai mereka, perusahaan akan menanamkan uang tersebut dalam bentuk saham dan perusahaan-perusahaan tersebut. Regulasi tabungan masa tua ini dikenal dengan nama 401(k), sesuai dengan pasal yang mengatur masalah hukum perpajakan untuk pensiunan. Enron juga menerapkan sistem ini dan menanamkan seluruh tabungan pensiunan dari pegawai-pegawainya dalam bentuk saham perusahaan. Yang menyedihkan adalah kenyataan saham Enron bernilai 80 dolar AS per lembar pada bulan Februari 2001 tetapi berharga hanya 26 sen per lembarnya saat perusahaan itu mengumumkan kepailitan Enron. Berarti, tabungan dari para pegawai yang bekerja keras selama hidupnya bernilai kosong sekarang ini.

KESIMPULAN

Fungsi auditor independen tak hanya memastikan bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan sesuai dengan aturan dan standar akutansi, tapi juga memberi investor maupun kreditor gambaran yang fair serta akurat tentang apa yang terjadi. Perlunya nilai pada bisnis karena pada hakikatnya manusia membutuhkan tiga modal yakni modal material berupa kecerdasan (IQ), modal sosial dan emosional (EQ), dan modal spiritual (SQ).
Banyak contoh perusahaan dunia yang akhirnya hancur karena tidak mengindahkan aspek spiritualis dalam bisnis misalnya Enron, Worldcom, dan Arthur Andersen. Padahal, ketiga perusahaan itu memiliki aset ratusan triliun, namun dalam sekejap ambruk akibat mengesampingkan nilai-nilai dalam berbisnis. Di lain pihak banyak perusahaan yang bangkit dari keterpurukan setelah menerapkan nilai-nilai universal dalam berbisnis. Contohnya David Maxwell yang diangkat menjadi Dirut Fannie Mae tahun 1981 saat perusahaan rugi 1 juta dolar AS per harinya. Maxwell berhasil mengubah Fannie Mae menjadi perusahaan berbudaya dan berkinerja tinggi dengan laba 1 juta dolar AS per hari. Maxwell menyerahkan hak sisa pensiunnya sebesar 5,5 juta dolar AS kepada Yayasan Fannie Mae untuk membangun perumahan bagi warga berpenghasilan rendah.

SALAH SAJI LAPORAN KEUANGAN PADA KASUS KIMIA FARMA

Pendahuluan
Semakin berkembangnya kejahatan akuntansi dalam korporat yang terjadi akhir-akhir sungguh luar biasa. Dari kejahatan yang sederhana hingga kejahatan yang kompleks dan terstruktur. Akibat dari adanya kejahatan tersebut, para pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mulai mempertanyakan kembali eksistensi akuntan publik sebagai pihak indepeden yang menilai kewajaran laporan keuangan. Akan tetapi apakah hal ini murni merupakan keslahan yang dilakukan oleh akuntan publik itu sendiri, atau dapat dikatakan bahwa Akuntan Publik saat ini sudah tidak dapat menjadi suatu kepercayaan dimata publik? Hal inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini, dengan mengambil suatu naratif, suatu kejadian nyata di Indonesia pada PT. Kimia Farma Tbk.
Pada tahun 2002 ditemukan penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan PT. Kimia Farma tahun buku 2001, hal tersebut berawal dari temuan akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM) soal ketidakwajaran dalam laporan keuangan kurun semester I tahun 2001. Mark up itu senilai Rp 32,7 Milyar, karena dalam laporan keuangan yang seharusnya laba Rp 99,6 Milyar ditulisnya Rp 132,3 milyar, dengan nilai penjualan bersih Rp 1,42 trilyun.
Untuk diketahui bahwa yang mengaudit tahun buku 2001 adalah kantor akuntan HTM itu sendiri, hanya berbeda partner. Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari KAP HTM adalah Syamsul Arif, sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam pengauditan semester I tahun buku 2002 adalah Ludovicus Sensi W.
Menurut pihak PT. Kimia Farma menduga bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory stock. Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal mengungkapkan tentang kasus PT. Kimia Farma sebagai berikut: Dalam rangka restrukturisasi PT.Kimia Farma Tbk, Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT. Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per-31 Desember 2001. Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT. Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti sebagai berikut: Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir Rata Penuh31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar, yang merupakan 2,3% dari penjualan, dan 24,7% dari laba bersih PT. Kimia Farma Tbk.
Selain itu kesalahan juga terdapat pada Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada:
Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar.
Unit logistik sentral, kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar.
Unit pedagang besar farmasi (PBF), kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar.
Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 – juni 2002 dengan cara: Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT Kimia Farma. Master price per-3 Februari 2002 merupakan master price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember 2001. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit bahan baku. Pencatatan ganda dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan. Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam no. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang melakukan audit laporan keuangan per 31 Desember 2001 PT Kimia Farma telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam SPAP dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya mark up laba yang dilakukan PT. Kimia Farma.
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan pasal 102 UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 61 PP no.45 tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan bidang pasar modal maka PT. Kimia Farma Tbk, dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp 500 juta.
Sesuai pasal 5 huruf N UU no.8 tahun 1995 tentang pasar modal maka:
Direksi lama PT. Kimia Farma periode 1998 – juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1 milyar untuk disetor ke kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per-31 Desember 2001.
Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT. Kimia Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp 100 juta untuk disetor ke kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai SPAP dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.

Pembahasan

Terjadinya penyalahsajian laporan keuangan yang merupakan indikasi dari tindakan tidak sehat yang dilakukan oleh manajemen PT. Kimia Farma, yang ternyata tidak dapat terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan pada periode tersebut. Apakah hal ini merupakan kesalahan dari akuntan publik tersebut ?
Padahal akuntan publik tersebut setelah diperiksa ternyata telah melaksanakan prosedur audit yang sesuai dengan SPAP. Jika melihat dari SA Seksi 230 paragraf 12 yang menyebutkan:
(12) Oleh karena pendapat auditor atas laporan keuangan didasarkan pada konsep pemerolehan keyakinan memadai, auditor bukanlah penjamin dan laporannya tidak merupakan suatu jaminan. Oleh karena itu, penemuan kemudian salah saji material, yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang ada dalam laporan keuangan, tidak berarti bahwa dengan sendirinya merupakan bukti (a) kegagalan untuk memperoleh keyakinan memadai, (b) tidak memadainya perencanaan, pelaksanaan, atau pertimbangan, (c) tidak menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama, atau (d) kegagalan untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan auditnya pada umumnya berdasarkan kepada sampling, makanya ketika ditemukan di kemudian hari terdapat kesalahan yang tidak terdeteksi merupakan hal yang wajar, karena menurut SA Seksi 110 paragraf 1 menyebutkan:
(1) Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Dengan melakukan sampling, otomatis terdapat suatu risiko untuk tidak terdeteksinya suatu kesalahan dalam laporan keuangan yang diaudit. Kalau begitu mengapa akuntan publik tersebut dikenakan sanksi untuk membayar sebesar 100 juta karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut ? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut UU Pasar Modal tahun 1995, begitu menemukan adanya kesalahan, selambat-lambatnya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Maka jika akuntan publik yang tidak dapat mendeteksi adanya kesalahan penyajian tersebut ternyata baru menyadari adanya kesalahan yang tak terdeteksi tersebut setelah mengeluarkan opininya tetapi tidak segera melaporkannya dalam periode tiga hari, maka pantaslah akuntan publik tersebut dikenakan sanksi.
Berkaitan dengan sikap Skeptisme Profesional seorang auditor, sehingga jika akuntan publik tersebut tidak menerapkan sikap skeptisme profesional dengan seharusnya hingga berakibat memungkinkannya tidak terdeteksinya salah saji dalam laporan keuangan yang material yang pada akhirnya merugikan para investor.
Menurut pemaparan kasus diatas, akuntan publik tersebut setelah melalui proses penyelidikan ternyata tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Maka hal ini berarti tidak adanya masalah yang berkaitan dengan independensi seorang auditor, atau berarti auditor tersebut telah independen dalam melakukan jasa profesionalnya.

Kesimpulan

Pada akhirnya semua hal ini kembali kepada masing-masing individu auditornya dalam melaksanakan jasa profesionalnya yang menuntut sikap independensi, obyektifitas, integritas yang tinggi, serta kemampuan profesional dalam bidangnya.

KASUS DI PDAM KABUPATEN TASIKMALAYA

I. Fenomena yang Terjadi

Laporan auditor atas hasil pelaksanaan pemeriksaan laporan keuangan perusahaan, merupakan indikator atas penyusunan laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan telah disajikan dengan wajar, sehingga dapat digunakan oleh pemakai laporan keuangan untuk pengambilan keputusan ekonomi. Dengan demikian sangatlah penting laporan keuangan yang telah diaudit oleh yang berhak, bagi pemakai dan pengambil kebijkan atas perusahaan tersebut. Agar hasil keputusannya tepat, maka laporan keuangan audited harus tepat waktu tidak terlalu lama keluarnya, sehingga pengambilan keputusannya cepat. Untuk menunjang itu auditor memegang peran yang cukup besar dalam proses pengambilan keputusan tersebuut. Mengingat laporan keuangan yang diterbitkan manajemen perusahaan belum dipercaya kewajarannya sebelum ada opini dari auditor yang berwenang. Auditor harus profesional dalam mengerjakan pemeriksanaan atas laporan keuangan, serta berpedoman pada SPAP. Sehingga tingkat kepercayaan pemakai atas opini yang dikeluarkan auditor tidak merasa ragu.

Hal tersebut di atas berlaku umum, artinya untuk semua organisasi baik perusahaan maupun non perusahaan, tidak terkecuali Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dalam kasus ini terjadi pada PDAM di Kabupaten Tasikmalaya. Suatu kota yang dipenuhi gunung-gunung dan dikenal dengan kota seribu gunung. Disamping itu banyak sumber-sumber air bersih disekitar gunung-gunung tersebut, sehingga dapat dibagikan secara merata ke daerah yang kandungan air bersihnya kurang. Pendistribusian ini dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sebagai perusahaan milik pemerintah daerah, PDAM wajib melaporkan hasil yang telah dicapainya baik keuangan maupun non keuangan kepada Pemerintah Daerah. Khusus untuk laporan mengenai keuangannya, PDAM diharuskan membuat laporan keuangan minimal satu tahun sekali. Untuk memberi keyakinan Pemerintah daerah bahwa laporan keuangan PDAM yang disajikan wajar, maka laporan keuangan tersebut diharuskan diaudit oleh auditor ekstern.

Untuk menghasilkan laporan keuangan yang baik, maka setiap tahunnya secara berkala selalu dimonitor oleh Auditor pemerintah, termasuk teknis pencatatan dan pembuatan laporan-laporan lainnya baik yang menyangkut keuangan maupun non keuangan, termasuk didalamnya penerapan pengendalian intern perusahaan. Sebelum tahun 2004 PDAM Kabupaten Tasikmalaya selalu diaudit oleh Auditor pemerintah dari Ibu kota propinsi. Selain melakukan audit atas kinerja, Auditor pun mengaudit atas laporan keuangan. Sebagaimana halnya Kantor Akuntan Publik, auditor pemerintah tsb setiap selesai melakukan general audit, selalu memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan PDAM. Setiap tahun PDAM memperoleh opini dari auditor pemerintah adalah wajar tanpa pengecualian.

Selama proses audit Sering sekali auditor pulang ke kantornya dengan alasan kedinasan ataupun keluarga. PDAM setiap auditor keluar kota ataupun keperluan lain walaupun tidak ada hubungan langsung dengan keperluan audit, selalu memberikan akomodasi. Tidak heran bila biaya audit selalu melebihi anggarannya. Memang auditor tidak meminta akomodasi tersebut, namun mereka juga tidak menolak ketika diberi akomodasi tsb. Setiap tahun total biaya audit cukup besar bila dibandingkan dengan fee KAP sekarang ini. Padahal aset PDAM saat itu hanya sekitar10 milyar rupiah, dengan laba sebesar Rp 500 juta.

Meskipun akomodasi auditor dipenuhi secara maksimal, namun terbitnya laporan audit sangat lama sekali, padahal laporan keuangan akan digunakan oleh Pemda untuk menentukan besarnya setoran ke Pemerintah Daerah. Disamping itu pula digunakan oleh pihak manajemen untuk menentukan besarnya jasa produksi yang akan diberikan pada karyawan, sehingga karyawan sangat menunggu laporan audit tersebut. Setiap tahunnya saat itu rata-rata laporan audit dapat diterima perusahaan sekitar bulan Juli- Agustus, sehingga hampir termasuk kategori mubadzir. Disamping itu sering meminta data dengan alasan kekurangan data agar dikirim ke kantornya. Lama perjalanan dari PDAM Kabupaten Tasikmalaya ke kantornya dapat memakan waktu 3,5 jam perjalanan. Setelah data tersebut selesai digunakan, sekitar satu minggu kemudian, harus diambil oleh karyawan PDAM ke kantor auditor pemerintah tsb. Terkadang ada data yang hilang terutama yang lembaran-lembaran lepas.

Dari fenomena di atas, terdapat beberapa hal yang dianggap kurang memperhatikan etika sebagai auditor

1. Memberikan jasa lain pada klien yang diperiksa

2. Menerima pemberian diluar fasilitas audit.

3. Menyuruh karyawan perusahaan mengirim data-data kekurangan ke kantor Pemeriksa.

4. Menerbitkan laporan audit terlalu lama.

5. Melakukan audit secara terus menerus.

6. Mengeluarkan opini, yang seharusnya memberikan saran perbaikan atas kinerja perusahaan.

II. Pembahasan

a. Memberikan jasa lain pada klien yang diperiksa.

Dalam kasus ini auditor memberikan jasa lain pada kliennya, yakni memberikan bimbingan mengenai pencatatan akuntansi dan prosedur-prosedurnya, serta penilaian pengendalian intern perusahaan. Sehingga diharapkan akan menghasilkan laporan keuangan yang wajar dan akurat. Namun pada saat akhir tahun buku, laporan keuangan perusahaan tsb diaudit pula oleh auditor tsb, dengan opini wajar tanpa pengecualian.

Dari kasus ini menurut hemat saya ada kekhawatiran auditor melanggar etika profesi dalam kode etik akuntan Indonesia. Dalam kode etik tsb , tersurat dalam juklaknya sbb; ” Jika seorang akuntan disamping melakukan audit, juga melaksanakan jasa lain untuk klien yang sama, maka ia harus menghindari jasa yang menuntut ia melakukan fungsi manajemen atauu memilih keputusan manajemen, yag tanggungjawabnya terletak pada dewan direksi dan manajemen”. Dalam kasus ini akuntan yang sama melakukan jasa lain pada kliennya disamping melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan tsb. Sedangkan menurut juklak kode etik akuntan tsb. Harus memilih salah satu penugasan, dalam hal ini apakah audit atas laporan keuangan, atau jasa lainnya.


b. Menerima pemberian diluar fasilitas audit.

Dalam kasus ini aditor menerima ” pemberian” dari kliennya yang tidak termasuk dalam kontrak perjanjian fee audit. Walaupun “pemberian “ tsb tidak secara eksplisit untuk mempengaruhi sikap auditor, namun dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap independen nya. Hal ini dikhawatirkan melanggar kode etik akuntan Indonesia khususnya Bab V pasal 6 ayat 5. Bab tsb berbunyi sbb: “Dalam melaksanakan penugasan pemeriksaan laporan keuangan, dilarang menerima imbalan lain selain honorarium untuk penugasan yang bersangkutan. Honorarium tersebut tidak boleh tergantung pada manfaat yang akan diperoleh kliennya.” Dalam pasal tsb jelas bahwa auditor dilarang menerima pemberian apapun dalam melaksanakan tugasnya. Walaupun klien tidak mengatakan secara langsung permintaannya, namun hal tsb cukup bisa dimengerti. Jadi dengan demikian auditor tsb disinyalir memenuhi kategori pelanggaran kode etik akuntan Indonesia.


c. Membawa bukti pemeriksaan ke kantor Auditor.

Dengan alasan kekurangan data, maka auditor pemeriksa meminta karyawan klien untuk mengirimkan data-data dan bukti-bukti transaksi ke kantornya. Jarak tempuh antara perusahaan klien dengan kantor akuntan tsb sekitar 120 km dengan waktu tempuh perjalan selama 3,5 jam. Hal ini tentu berisiko data hilang baik di kantor akuntan, maupun di perjalan. Data-data tsb digunakan di kantor akuntan rata-rata seminggu, untuk diproses. Dari kasus tersebut terlihat bahwa berkas-berkas yang ada di kantor auditor khawatir dapat diketahui oleh pihak yang tidak semestinya, atau jatuh ke tangan pihak yang bukan haknya, sehingga informasi yang rahasia dapat jatuh ke pihak lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam aturan etika KAP sbb: “ Anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang rahasia tanpa persetujuan klien.”. Hal ini pun diperjelas dalam kode etik Akuntan Indonesia bab III pasal 4 yang berbunyi: “Setiap anggota harus menjaga kerahasiahan informasi yang diperoleh dalam tugasnya, dan tidak boleh terlibat dalam pengungkapan dan pemanfaatan informasi tersebut, tanpa seijin pihak yang memberi tugas, kecuali jika hal itu dikehendaki oleh norma profesi, hukum atau negara.” Sebaiknya berkas-berkas data tsb tidak dibawa ke kantor auditor, cukup di kantor klien saja.

d. Menerbitkan laporan audit terlalu lama.

Auditor dalam kasus ini menerbitkan laporan pemeriksanaannya rata-rata 3-6 bulan. Hal ini jelas akan mengurangi manfaat laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan baik bagi pemilik, maupun bagi manajemen perusahaan, mengingat laporan keuangan merupakan salah satu alat dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi bagi stakeholders. Keputusan ekonomi disini yang berdasar pada laporan keuangan yang telah diaudit diantaranya adalah; pajak penghasilan perusahaan yang harus disetor ke kas negara, besarnya jasa produksi yang akan didistribusikan, besarnya setoran untuk PAD, pengukuran kinerja pimpinan perusahaan.
Tindakan auditor yang lambat dalam pembuatan laporan audit ini, dikhawatirkan merusak citra auditor itu sendiri, dan juga dapat dikategorikan kurangnya tanggungjawab kepada klien . Dalam prinsip etika akuntan Indonesia pada prinsip kedua yakni; kepentingan publik, pada poin (5) diungkapkan sbb: ” Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.” Dengan berdasarkan pada pernyataan tersebut, maka sikap auditor yang lambat dalam mengeluarkan laporan auditnya, dapat dikategorikan tidak mentaati etika akuntan Indonesia khususnya poin lima di atas. Karena tindakan auditor tersebut akan mengurangi kepercayaan publik pada lembaga pemeriksa, dan juga pada kualitas, serta profesionalisme pemeriksa. Padahal komponen kepercayaan publik, profesionalisme, integritas dll, sangat perlu dijunjung tinggi oleh auditor.

e. Melakukan audit secara terus menerus.

Dalam kasus yang terjadi di PDAM Kabupaten Tasikmalaya ini, sejak mulai berdiri sekitar tahun 1987 sampai tahun 2004 selalu dilakukan audit atas laporan keuangan oleh BPKP secara terus menerus. Hal ini beralasan bahwa PDAM milik pemerintah, dan BPKP mempunyai hak untuk membimbingnya dan sekaligus memeriksanya. Melakukan audit atas laporan keuangan dari mulai tahun 1987 sampai tahun 2004 oleh satu institusi pemeriksa, dikhawatirkan melanggar Keputusan Menkeu Republik Indonesia nomor : 423/KMK.06/2002, tentang jasa akuntan publik. Meskipun BPKP bukan akuntan publik, namun dalam kasus ini bertindak seolah-olah sebagai akuntan publik, yakni memeriksa laporan keuangan dan mengeluarkan opini atas pemeriksaannya itu. Dalam keputusan Menteri tsb khususnya Bab II Bagian kedua pasal 6 ayat (4), diungkapkan sebagai berikut : ” Pemeriksaan jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh KAP paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.” Dalam Keputusan Menteri Keuangan RI nomor 359/KMK.06/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik, diungkapkan dalam pasal II ayat (1) sbb: ” KAP yang telah memberikan jasa audit umum untuk 5 (lima ) tahun buku berturut-turut atau lebih atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya keputusan menteri keuangan ini, dapat melaksanakan audit umum atas laporan keuangan entitas tsb samapai tahun buku 2003.” Juga diungkapkan bagi akuntan publik dalam ayat (2) sbb: ” Akuntan publik yang telah memberiakn jasa audit umum untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut atau lebih atas laporan laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya keputusan menteri keuangan ini, dapat melaksanakan audit umum atas laporan keuangan entitas tersebut samapai dengan tahun 2003.” Dengan demikian sudah jelas bahwa auditor tsb tidak mengindahkan keputusan menteri keuangan yang mengatur lamanya auditor melakukan audit pada satu entitas.

f. Mengeluarkan Opini.

Dalam kasus ini yang bertindak sebagai auditor adalah BPKP, yang merupakan auditor pemerintah, yang mempunyai tugas diantaranya membimbing dan mengarahkan suatu entitas melaksanakan akuntansi yang baik yang sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia. Disamping itu BPKP juga mempunyai tugas diantaranya menilai kinerja atas suatu entitas di lingkungan Pemerintah. Jika dilihat dari sebagian tugasnya tersebut, maka menurut saya jelas bahwa BPKP berhak melakukan audit kinerja atas suatu entitas di lingkungan Pemerintah baik pusat maupun daerah, untuk memberikan saran dan perbaikan atas kinerja entitas tersebut. Sehingga akan selalu memberikan saran dan bimbingan agar entitas mencapai kinerja yang diharapkan yang pada akhirnya akan memeberikan kesejahteraan baik secara langsung maupun tidak langsung pada masyarakat sekitarnya.
Dengan mengeluarkan opini audit layaknya KAP, maka BPKP harus tunduk pada kode etik akuntan Indonesia dan juga aturan etika kompartemen akuntan publik, sehingga opini yang dikeluarkan BPKP dapat dipercaya oleh pemakainya. Oleh karena itu sikap independen dan integritas profesionalisme BPKP harus mengacu pada aturan kode etik akuntan Indonesia. Hal ini wajar karena opini yang dikeluarkan BPKP naratifnya sama dengan opini yang dikeluarkan oleh kantor akuntan publik, juga jenis opininya pun sama, seperti opini wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian, opini tidak wajar, dan opini tidak memberikan pendapat.



KESIMPULAN

Analisis

Sebagai seorang akuntan seharusnya dapat selalu menjaga kepercayaan publik terhadap profesinya yang memberikan pendapat atas suatu laporan keuangan yang di audit. Dimana di saat seorang akuntan melakukan audit, maka publik selalu percaya bahwa akuntan akan selalu mempertahankan sikap independensi, integritas dan objektivitas sebagi seorang akuntan yang profesional. Hal tersebut sangat jelas di sebutkan dalam Standar Profesi Akuntan Publik dan di sebutkan kembali di dalam aturan etika akuntan publik. Sifat bawaan dari seorang akuntan yang selalu melekat dimata publik adalah sikap independensinya, sehingga akuntan sangat dipercaya. Independen berati tidak terpengaruh terhadap apapun dan menjaga integritas dan objektivitas dalam melakukan tugasnya. Seorang akuntan harus independen dalam dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance), integritas dan objektivitas juga haruslah dipertahankan, yang mana harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatment) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.

Dari kasus yang terjadi pada PDAM Kabupaten Tasikmalaya tersebut di atas, auditor telah melanggar beberapa poin dalam etika akuntan Indonesia dan etika akuntan publik, juga peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang jasa akuntan publik. BPKP memang berbeda dengan akuntan publik, namun dalam kasus ini BPKP melakukan hal-hal yang dilakukan oleh akuntan publik / KAP. Maka sewajarnya BPKP mentaati etika dan aturan yang berlaku di akuntan publik yang berada di bawah naungan IAI.

Meskipun pemakai laporan keuangan PDAM adalah terbatas, namun tetap harus mengedepankan keakuratan dan kewajaran. Apalagi sekarang dengan adanya Permendagri Nomor 2 Tahun 2007, yang isinya antara lain menyatakan bahwa, laporan keuangan PDAM yang telah diaudit, harus dimuat dalam media massa, sebagai salah satu aspek good corporate governance. Hal ini menandakan bahwa agar masyarakat percaya akan laporan keuangan yang telah diaudit, maka auditor harus benar-benar menjunjung independensi, profesionalisme dan etika.

Saran

Kasus-kasus tersebut seharusnya tidak perlu terjadi apabila seorang akuntan dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya, mempunyai pengetahuan, pemahaman dan menerapkan aturan etika secara baik dan benar. Pekerjaan seorang profesional harus dikerjakan dengan sikap profesional pula, dengan sepenuhnya melandaskan pada standar moral dan etika tertentu. Dengan sikap profesionalnya dan memahami aturan etika, seorang akuntan akan mampu menghadapi berbagai tekanan yang dapat muncul dari dirinya sendiri ataupun dari pihak luar. Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka terhadap persoalan etika juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia berada. Dalam hal ini, dunia pendidikan akuntansi juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika akuntan.

Sumber :

* http://ambarbayusetiawan.blogspot.com/2009/10/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html

* http://www.auditor-internal.com